Selasa, 25 Oktober 2011

sosialisasi dengan lingkungan sekitar


Secara pribadi hubungan sosialisasi saya dengan lingkungan sosial sekitar saya adalah baik. Saya bisa bersosialisasi dengan baik dengan tetangga disekitar rumah saya. Membangun dan menjaga hubungan sosialisasi yang baik dengan lingkungan sosial disekitar saya bukanlah hal sulit dan bukanlah hal yang mudah. Saya harus memahami sifat setiap orang (tetangga) yang berada disekitar tempat tinggal saya. Hubungan sosialisasi bukan tercipta oleh satu pihak, melainkan melalui dua pihak. Oleh karena itu, janganlah selalu beranggapan bahwa kitalah yang harus dihormati dan dihargai, saling menghargai dan saling  menghormati merupakan kunci utama agar hubungan sosialisasi bisa terjaga dengan baik, karena apabila kita tidak dapat menghargai dan menghormati orang lain bagaimana bisa orang lain menghargai dan menghormati kita.
Tidak hanya itu saya ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan oleh masyarkat dilinhkungan tempat tinggal saya, seperti ikut kerja bakti, mengikuti acara 17 Agustus, hadir dalam acara yang diselenggarakan di lingkungan temapt tinggal saya, dan lain sebagainya.

Selain bersosialisasi di lingkungan tempat tinggal, saya juga bersosialisasi di lingkungan kampus khususnya kelas saya. Seperti halnya di lingkungan tempat tinggal saya, di lingkungan kelas di kampus saya juga harus bisa menjaga hubungan sosialisasi yang baik dengan cara menhargai dan menghormati semua teman saya yang berada di kampus khususnya di dalam kelas saya. Kelas saya memiliki cara agar hubungan sosialisasi kami tetap dapat terjalin dengan baik, yaitu dengan cara belajar bersama, baik di kampus atau di rumah teman. Cara ini efektif untuk menjaga hubungan sosialisasi kami, kami jadi mengetahui lingkungan tempat tinggal teman- teman kami, kebiasaan dan sifat setiap teman- teman kami, karena seringnya kami bertemu. Bahkan, kami dapat menceritakan berbagai masalah yang kami hadapi dan mencari jalan keluarnya bersama. Sungguh membahagiakan rasanya karena hubungan sosialisasi yang baik, terciptalah berbagai kenangan yang indah bersama, kami tertawa bersama, berusaha bersama mencapai cita- cita kami. Perasaan yang begitu indah. Saya merasa sangat beruntung bisa masuk kedalam kelas ini, kelas ini begitu kompak, membuat saya takut tidak bisa lagi sekelas bersama mereka. Kelas saya di kampus merupakan keluarga kedua saya, setelah keluarga saya di rumah.
Di dalam kehidupan, hubungan sosialisasi yang baik dapat menciptakan berbagai hal, bahkan keajaiban. Kebahagian, harapan, kesedihan, kemarahan, kekaguman adalah beberapa contoh dari berbagai perasaan yang tercipta kareana adanya hubungan sosialisasi. Dan saya selalu ingin menjaga hubungan sosialisasi yng baik dengan semuan orang di dalam berbagai lingkungan dimana saya berada.

Sumber: banana smothie

keluarga sebagai media sosialisasi


Keluarga sebagai media sosialisasi dalam pembentukan kepribadian
Keluarga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi.Begitu seorang bayi dilahirkan, ia
sudah berhubungan dengan kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, dan mungkin dengan saudara
dekat lainnya.
Sebagai anggota keluarga yg baru di lahirkan, ia sangat tergantung pada perlindungan dan
bantuan anggota-anggota keluarganya. Proses sosialisasi awal ini dimulai dengan proses belajar
menyesuaikan diri dan mengikuti setiap apa yg diajarkan oleh orang-orang dekat sekitar
lingkungan keluarganya, seperti belajar makan, berbicara, berjalan, hingga belajar bertindak dan
berperilaku.
Dalam keluarga, orang tua mencurahkan perhatian untuk mendidik anaknya agar anak tersebut
memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yg benar melalui penanaman disiplin sehingga
membentuk kepribadian yg baik bagi si anak.
Oleh karena itu, orang tua sangat berperan untuk :
1. selalu dekat dengan anak-anaknya,
2. memberi pengawasan dan pengendalian yg wajar,sehingga jiwa anak tidak merasa tertekan,
3. mendorong agar anak dapat membedakan antara benar dan salah,baik dan buruk,pantas dan
tidak pantas dan sebagainya,
4. ibu dan ayah dapat membawakan peran sebagai orang tua yg baik serta menghindarkan
perbuatan dan perlakuan buruk serta keliru di hadapan anak-anaknya,dan
5. menasihati anak-anaknya jika melakukan kesalahan serta menunjukkan dan mengarahkan
mereka ke jalan yg benar
Apabila terjadi suatu kondisi yg berlainan dengan hal di atas, maka anak-anak akan mengalami
kekecewaan.kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya,terlalu sibuk dengan kepentingan-
kepentingannya,sehingga anak merasa diabaikan,hubungan anak dengan orang tua menjadi
jauh,padahal anak sangat memerlukan kasih saying mereka, dan
2. Orang tua terlalu memksakan kehendak dan gagasannya kepada anak sehingga sang anak
menjadi tertekan jiwanya.
Dalam lingkungan keluarga kita mengenal dua macam pola sosialisai, yaitu dengan cara represif
(repressive socialization) yg mengutamakan adanya ketaatan anak pada orang tua dan cara
partisipasi (participatory socialization) yg mengutamakan adanya partisipasi dari anak.
1. Sosialisasi represif (repressive socialization) antara lain:
a. menghukum perilaku yg keliru,
b. hukuman dan imbalan material
c. kepatuhan anak.
2. Sosialisasi partisipasi (participatory socialization) antara lain:
a. Otonomi anak
b. Komunikasi sebagai interaksi
c. Komunikasi verbal.
Keseluruhan sistem belajar mengajar bsebagai bentuk sosialisasi dalam keluarga bisa disebut
sistem pendidikan keluarga.Sistem pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh yaitu
suatu pola untuk menjaga,merawat,dan membesarkan anak,Pola ini tentu saja tidak dimaksudkan
pola mengasuh anak yg dilakukan oleh perawat atau baby sitter,seperti yg sering dilakukan oleh
kalangan keluarga elit/kaya di kota-kota besar.
Pola mengasuh anak di dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh system nilai,norma,dan adat istiadat yg berlaku pada masyarakat tempat keluarga itu tinggal. Jadi, kepribadian dan pola perilaku yg terdapat pada berbagai masyarakat suku bangsa sangat beragam coraknya.
ANALISIS :
Pepatah menyatakan “Anak adalah titipan dari yang kuasa” seperti juga pujangga besar Khalil
Gibran, dalam sebuah puisinya yang sangat popular menyebutkan”…. Mereka adalah putra putri
kehidupan. Dari kita mereka ada…tetapi mereka bukanlah milik kita…..dst .
Sesungguhnya, setiap manusia (anak atau dewasa), memiliki hak-hak yang melekat sejak dia
menghirup oksigen di muka bumi ini. ”. Ironisnya, banyak orang tua yang sering memperlakukan
anak-anak mereka dengan semena-mena, otoriter, dengan anggapan, sampai kapanpun anakku
adalah anak-anak, yang harus menuruti segala kehendak orang tua. Walaupun yang disebut anak
itu mungkin saat ini telah memiliki anak-anak mereka sendiri.
Orang tua = hakim ??
Setiap anak memiliki karakter yang berbeda, maka mendidik anak adalah seni kehidupan yang
sangat unik dan spesifik.
Setiap hari menyaksikan ulah anak-anak, dan begitu kenakalan terjadi, hati dan pikiran kita
bereaksi, mau diapain anak ini? Cukup diberi pengertian? Atau diperingatkan keras? Atau harus
dicubit? Atau …..?
Saat itulah kita siap memvonis bagai seorang hakim. Maka, emosi, kebijaksanaan dan wawasan
berpikir sebagai orang tua sangat menentukan, apakah anak merasa diperlakukan secara wajar
dan adil oleh orang tuanya terhadap ulah mereka.
Pada sebuah seminar, ada seorang peserta yang bertanya tentang bagaimana kami mendidik
anak? Dengan cara baru atau lama? Nah lho, mendidik anak dengan cara baru? (setiap anak
melakukan kesalahan, cukup diberi pengertian). Dan cara lama? Dengan pukulan atau kekerasan!
Menurut saya, mendidik anak tidak ada cara baru atau lama. Karena kita yang paling tau karakter
anak-anak kita, maka cara apapun, asal tidak ekstrim, tidak masalah.
Apakah dalam mendidik anak perlu dipukul? Atau tindakan fisik?
Bagi saya, bila memang diperlukan, bisa saja dilakukan pemukulan (bukan dalam taraf
membahayakan). Sekali lagi, kita lah yang paling tau karakter anak sendiri, selama niatnya baik
dan kemudian diberi pengertian benar, saya yakin, sebuah pendidikan tidak berbatas pada vonis
pemukulan berarti tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi lebih dari itu, mendidik anak
berarti menghantar mereka dalam pembentukan karakter dan kepribadian sebagai bekal menjadi
diri mereka sendiri. Sehingga dikemudian hari, mereka mampu tampil sebagai pribadi yang baik,
berguna bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Karena setiap anak memiliki karakter khas yang berbeda satu sama lain, maka temukan metode
dan mendidik anak sesuai dengan karakter mereka masing-masing sehingga anak tidak hanya
mampu memperbaiki diri dari sebuah kesalahan tetapi juga terdorong untuk senang secara terus-
menerus mengembangkan sisi baiknya.
Penutup.
Keluarga adalah basis pendidikan yang paling utama, dan orang tua merupakan figure utama
pendidik dalam keluarga. Keteladanan orang tua merupakan pola pendidikan yang paling
ringkas, simple dan efektif. Kasih sayang dan komunikasi antar anggota keluarga ditambah
dengan contoh nyata dari figure orang tua merupakan unsur penting dalam mendidik buah hati
kita. Orang tua yang luar biasa adalah orang tua yang disegani, ditaati dan diteladani oleh anak-
anaknya.

Sumber: scrib.com

sosialisasi


Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.

Jenis sosialisasi
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/07/2521448-Things_To_Do-The_Gambia.jpg/150px-2521448-Things_To_Do-The_Gambia.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Keluarga sebagai perantara sosialisasi primer
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
  • Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
  • Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
[sunting] Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
  • Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
  • Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.

Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
[sunting] Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.
[sunting] Proses sosialisasi
[sunting] Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
  • Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
  • Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
  • Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
  • Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
[sunting] Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.

Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
[sunting] Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
  • Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
  • Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
  • Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
  • Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
·         Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
·         Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
·         Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
  • Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.

sumber: wikipedia